Temukan cara gampang untuk sukses

Kisah Abu Nawas Bag. pertama

1. Konon Terjadi Saat LailatulQadar Cerita tentang ”Teler”-nya Abu Nawas

HAMPIR semua orang mengenal nama Abu Nawas. Namun di negeri kita, sosok tersebut telanjur dianggap sebagai pelawak. Mungkin hal itu akibat pengaruh buku "Hikayat Abu Nawas" saduran Nur Sutan Iskandar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak tahun 1930-an hingga 1950-an.
Salah satu taman kota, "Taman Abu Nawas" di Bagdad Irak dihiasi monumen dinding dengan relief cerita Abu Nawas yang hidup merakyat dan berperilaku lucu. Monumen sejenis dengan tema cerita Abu Nawas banyak dijumpai di taman-taman kota di Bagdad dan kota lainnya di Irak.
Padahal Abu Nawas (nama sebenarnya Abu Hani Muhammad bin Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, tahun 735 dan meninggal di Bagdhad, tahun 810) adalah seorang sastrawan besar dalam khazanah sastra Arab abad Pertengahan. Bahkan sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809.
Memang, karena kepiawaiannya di bidang bahasa dan sastra Arab, Abu Nawas banyak menggubah sajak-sajak bercorak
lelucon dan senda-gurau (mujuniyat). Ia juga sangat ahli merangkai syair tentang cinta dan kecantikan wanita (gazal), pujian terhadap seseorang (madah), bahkan sindiran halus namun tajam (hija). Dan dalam keadaan mabuk minum alkohol khamr), sambil meracau tak karuan, ia menggubah puisi-puisi yang membangga-banggakan minuman keras, yang disebut puisi khumrayat.
Karena kelakuannya yang urakan, tak bermoral, bahkan kemungkina atheis, Abu Nawas tidak disukai kalangan agamawan dan kalangan yang menjunjung tinggi ahlak kesopanan.
Namun menjelang usia tua, ia berubah total. Menjadi tekun beribadah, rendah hati (tawadlu) dan jarang berbicara. Dari beberapa anekdot yang dihimpun para pengamat puisi Abu Nawas, terungkap, kesadaran (al yakhzah) diri Abu Nawas tergugah pada suatu malam "Qadar" (Lai latulkadar). Ko non, ketika dalam keadaan "teler" Abu Nawas didatangi seseorang tak dikenal, yang berkata :

"Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu).

Abu Nuwas langsung merasa dirinya sebagai lalat. Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-terusan merusak, merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. La tufsidu fil ardli. Innallaha la yuhibbul mufsidin (Alquran Surah Al Qashash ayat 77).

Sejak peristiwa "Malam Qadar" itu, Abu Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.

Beberapa kawannya satu "geng" mendatangi Abu Nawas yang sedang i'tikaf di sebuah masjid, pada sepuluh malam terakhir Ramadan.

"Apa yang keluar dari bibirmu sekarang ?" ejek kawan-kawannya.

"Ayat-ayat Alquran," jawab Abu Nawas, kalem.

"Yang kau pikirkan di kepalamu ?"

"Kemahaagungan Allah, yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian, menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang."

"Kau habiskan malam-malammu dengan apa ?"

"Dengan mendekatkan diriku yang hina dina kepada Zat Maha Mulia, yaitu Allah SWT."

"Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana ?"

"Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas," kata Abu Nawas seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw. afdlala ibadati ummatiy tilawatul Qurani. Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Alquran.

Salah satu puisi karya terakhir Abu Nawas, sebuah puisi religius yang di negeri kita (antara lain di Pondok Modern Gontor) dijadikan "pupujian" seusai salat.

Ilahi, lastulil firdausi 'ala

Wa la aqwa alan naril jahimi

Fahabli taubatan waghfir dzunubi

Fainnaka ghafiru dzanbil adzimi

(Ya Allah, tak pantas buatku surga

Tapi neraka, tak kuat aku akan siksanya

Maka atas segala dosa aku bertaubat

Karena ampunanmu lebih hebat)

Puisi-puisi Abu Nawas bersama kisah hidupnya, ditulis antara lain oleh Mustafa Abdur Razak, dalam buku "Abu Nawas, Hayatuhu wa Sya'iruhu" (1981). Dikenal dan digemari di dunia Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.von Kremer "Diwan des Abu Nuwas Grossten Lyrischen Dichters der Araber" (1806).

Abu Nawas mung kin salah satu contoh manusia yang mendapat barakah "Lailatul Qadar". Malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Kita yang sedang saum sambil mengharap ampunan, rahmat dan itqun minannari (pembebasan dari api neraka), tak mustahil mendapat keberuntungan seperti Abu Nawas.


2. Abu Nawas Bunuh Diri

Ketika masih muda, Abu Nawas pernah bekerja di sebuah perusahaan jasa jahit pakaian. Suatu hari majikannya datang membawa satu kendi madu dan karena kuatir madu itu diminum Abu Nawas, maka majikannya berbohong dengan berkata, “Abu, kendi ini berisi racun dan aku tidak mau kamu mati karena meminumnya!!!”

Sang majikan pun pergi keluar, pada saat itu Abu Nawas menjual sepotong pakaian, kemudian menggunakan uangnya untuk membeli roti dan menghabiskan madu itu dengan rotinya.

Majikannya pun datang dan sadar bahwa pakaian yang dijualnya ternyata kurang satu sedangkan madu dalam kendi juga telah habis. Bertanyalah dia pada Abu Nawas, “Abu!!! Apa sebenarnya yang telah terjadi..?”.

Abu Nawas menjawab, “Maaf tuan, tadi ada seorang pencuri yang mencuri pakaian tuan, lalu karena aku takut akan dimarahi tuan, jadi aku putuskan untuk bunuh diri saja menggunakan racun dalam kendi itu…”.
· · · · · · · · · ·


3. Abunawas & jerita-nya

Suatu hari Sultan Harun Al’rashit merasa begitu boring. Kemudian, dia bertanya
Kepada Bendahara, "Bendahara, siapa paling pandai saat ini?"

"Abunawas" jawab Bendahara.

Sultan pun memanggil Abunawas n baginda bertitah: "Kalau kamu pandai, coba
buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf
'J'. kalau kamu bisa, kamu akan saya beri hadiah. tapi, kalau tidak, kamu akan kumasukkan ke dalam penjara selama 10 tahun.”
Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:

Jeng Juminten janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng
juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya-Jakarta. Jamu jagoannya: jamu
jahe. "Jamu-jamuuu..., jamu jahe-jamu jaheee...!" Juminten jerit-jerit
jajakan jamunya, jelajahi jalanan. Jariknya jatuh, Juminten jatuh
jumpalitan. Jeng Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh..."
Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga. Juminten
jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo.
Jantungnya Jeng Juminten janda judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera
jualan jamu, jadi julietnya Jack.

Johny justru jadi jelous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka
jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget. "Jieehhh, Jack
jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny. Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan
jenguk Juminten. "Jangan jealous, John..." jawab Juminten. Jumat, Johny
jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juminten.
Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!" Jack
jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, Jebreeet..., Jack
jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi jontor juga jendol... jeleekk.
"John, jangan jahilin Juminten...!" jerit Jack... Jantungnya Johny
jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji... Johnny jera..." jawab Johny. Juni,
Jack jadikan Johny join jualan jajajan jejer Juminten. Jhony jadi jongosnya
Jack-Juminten, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan
Jogja-Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny "jolly-jolly jumper."

Jumpalagi, jek...!!!
jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jaji ja...!!! judah...!!!


4. Abu Nawas Mendemo Tuan Kadi

Pada suatu sore, ketika Abu Nawas sedang mengajar murid-muridnya. Ada dua
orang tamu datang ke rumahnya. Yang seorang adalah wanita tua penjual
kahwa, sedang satunya lagi adalah seorang pemuda berkebangsaan Mesir.

Wanita tua itu berkata beberapa patah kata kemudian diteruskan dengan si
pemuda Mesir. Setelah mendengar pengaduan mereka, Abu Nawas menyuruh
murid-muridnya menutup kitab mereka.
“Sekarang pulanglah kalian. Ajak teman-teman kalian datang kepadaku pada
malam hari ini sambil membawa cangkul, penggali, kapak dan martil serta
batu.”

Murid-murid Abu Nawas merasa heran, namun mereka begitu patuh kepada Abu
Nawas. Dan mereka merasa yakin gurunya selalu berada membuat kejutan dan
berddfa di pihak yang benar.

Pada malam harimya mereka datang ke rumah Abu Nawas dengan membawa
peralatan yang diminta oleh Abu Nawas.

Berkata Abu Nawas,”Hai kalian semua! Pergilah malam hari ini untuk merusak
Tuan Kadi yang baru jadi.”

“Hah? Merusak rumah Tuan Kadi?” gumam semua muridnya keheranan.

“Apa? Kalian jangan ragu. Laksanakan saja perintah gurumu ini!” kata Abu
Nawas menghapus keraguan murid-muridnya. Barangsiapa yang mencegahmu,
jangan kau perdulikan, terus pecahkan saja rumah Tuan Kadi yang baru. Siapa
yang bertanya, katakan saja aku yang menyuruh merusak. Barangsiapa yang
hendak melempar kalian, maka pukullah mereka dan iemparilah dengan batu.”

Habis berkata demikian, murid-murid Abu Nawas bergerak ke arah Tuan Kadi.
Laksana demonstran mereka berteriak-teriak menghancurkan rumah Tuan Kadi.

Orang-orang kampung merasa heran melihat kelakukan mereka. Lebih-lebih
ketikatanpa basa-basi lagi mereka iangsung merusak rumah Tua Kadi. Orang-or-
ang kampung itu berusaha mencegah perbuatan mereka, namun karena jumlah

murid-murid Abu Nawas terlalu banyak maka orang-orang kampung tak berani
mencegah.

Melihat banyak orang merusak rumahnya, Tuan Kadi segera keluar dan
bertanya,”Siapa yang menyuruh kalian merusak rumahku?”

Murid-murid itu menjawab,”Guru kami Tuan Abu Nawas yang menyuruh kami!”

Habis menjawab begitu mereka bukannya berhenti malah terus menghancurkan
rumah Tuan Kadi hingga rumah itu roboh dan rata dengan tanah.

Tuan Kadi hanya bisa marah-marah karena tidak orang yang berani membelanya
“Dasar Abu Nawas provokator, orang gila! Besok pagi aku akan melaporkannya
kepada Baginda.”

Benar, esok harinya Tuan Kadi mengadukan kejadian semalam sehingga Abu
Nawas dipanggil menghadap Baginda.

Setelah Abu Nawas menghadap Baginda, ia ditanya. “Hai Abu Nawas apa
sebabnya kau merusak rumah Kadi itu”

Abu Nawas menjawab,”Wahai Tuanku, sebabnya ialah pada sliatu malam
hamba bermimpi, bahwasanya Tuan Kadi menyuruh hamba merusak rumahnya.
Sebab rumah itu tidak cocok baginya, ia menginginkan rumah yang lebih bagus
lagi.Ya, karena mimpi itu maka hamba merusak rumah Tuan Kadi.”

Baginda berkata,” Hai Abu Nawas, bolehkah hanya karena mimpi sebuah
perintah dilakukan? Hukum dari negeri mana yang kau pakai itu?”

Dengan tenang Abu Nawas menjawab,”Hamba juga memakai hukum Tuan Kadi
yang baru ini Tuanku.”

Mendengar perkataan Abu Nawas seketika wajah Tuan Kadi menjadi pucat. la
terdiam seribu bahasa.

“Hai Kadi benarkah kau mempunyai hukum seperti itu?” tanya Baginda.
Tapi Tuan Kadi tiada menjawab, wajahnya nampak pucat, tubuhnya gemetaran
karena takut.

“Abu Nawas! Jangan membuatku pusing! Jelaskan kenapa ada peristiwa seperti
ini !” perintah Baginda.

“Baiklah …… “Abu Nawas tetap tenang. “Baginda…. beberapa hari yang lalu
ada seorang pemuda Mesir datang ke negeri Baghdad ini untuk berdagang
sambil membawa harta yang banyak sekali. Pada suatu malam ia bermimpi
kawin dengan anak Tuan Kadi dengan mahar (mas kawin) sekian banyak. Ini
hanya mimpi Baginda. Tetapi Tuan Kadi yang mendengar kabar itu langsung
mendatangi si pemuda Mesir dan meminta mahar anaknya. Tentu saja pemuda
Mesir itu tak mau membayar mahar hanya karena mimpi. Nah, di sinilah
terlihat arogansi Tuan Kadi, ia ternyata merampas semua harta benda milik
pemuda Mesir sehingga pemuda itu menjadi seorang pengemis gelandangan dan
akhirnya ditolong oleh wanita tua penjual kahwa.”

Baginda terkejut mendengar penuturan Abu Nawas, tapi masih belum percaya
seratus persen, maka ia memerintahkan Abu Nawas agar memanggil si pemuda
Mesir. Pemuda Mesir itu memang sengaja disuruh Abu Nawas menunggu di
depan istana, jadi mudah saja bagi Abu Nawas memanggil pemuda itu ke
hadapan Baginda.

Berkata Baginda Raja,”Hai anak Mesir ceritakanlah hal-ihwal dirimu sejak
engkau datang ke negeri ini.”

Ternyata cerita pemuda Mesir itu sama dengan cerita Abu Nawas. Bahkan
pemuda itu juga membawa saksi yaitu Pak Tua pemilik tempat kost dia
menginap.
“Kurang ajar! Ternyata aku telah mengangkat seorang Kadi yang bejad
moralnya.”

Baginda sangat murka. Kadi yang baru itu dipecat dan seluruh harta bendanya
dirampas dan diberikan kepada si pemuda Mesir.

Setelah perkara selesai, kembalilah si pemuda Mesir itu dengan Abu Nawas
pulang ke rumahnya. Pemuda Mesir itu hendak membalas kebaikan Abu Nawas.

Berkata Abu Nawas,”Janganlah engkau memberiku barang sesuatupun
kepadaku. Aku tidak akan menerimanya sedikitpun jua.”

Pemuda Mesir itu betul-betul mengagumi Abu Nawas. Ketika ia kembali ke
negeri Mesir ia menceritakan tentang kehebatan Abu Nawas itu kepada
penduduk Mesir sehingga nama Abu Nawas menjadi sangat terkenal.


5. Abu Nawas, Koja Nasruddin, Si Kabayan

SI Kabayan ternyata punya saudara-saudara tua di dunia Arab, yaitu tokoh sufi Abu Nawas, Koja Nasruddin, dan Junayd. Ketiga tokoh “Arab” ini menampilkan diri sebagai sosok yang cerdas dan bodoh yang menimbulkan efek humor. Begitu pula Si Kabayan yang dilahirkan di daerah Banten. Tokoh kesayangan masyarakat Sunda ini ternyata berstatus sufi juga, atau setidaknya dipakai untuk mengungkapkan pikiran sufistik.

Menurut C. Hooykaas, tokoh semacam Si Kabayan di Pasundan sebenarnya banyak. Mereka hadir dengan nama yang berbeda-beda. Sebutlah Si Kidul, Bapa Leco, Bapa Lucung, Ahli Nujum, Nujum Sangsara, dan Si Buta Tuli.

Semua nama ini rupanya kemudian disatukan ke dalam satu nama saja, yakni Si Kabayan. Itulah sebabnya karakter Si Kabayan itu paradoks. Pada suatu ketika ia bisa sangat bodoh, tidak bisa membedakan mayat dan orang hidup. Pada ketika lain dia amat cerdas sehingga dapat menyadarkan mertuanya mengakui kesalahannya.

Ada kemungkinan bahwa tokoh Si Kabayan merupakan campuran dari cerita-cerita si bodoh dan si cerdas. Teman-teman bodohnya terdapat di berbagai suku di Indonesia yang dikenal sebagai Si Pandir, Joko Bodo, dan Ama ni Pandir di Batak, sedangkan tokoh cerdasnya ada di Melayu, yaitu Si Luncai.

Dalam khazanah sufi dunia, Abu Nawas lebih menonjol sebagai tokoh cerdas, sedangkan Koja Nasruddin sebagai tokoh bodoh. Dan Si Kabayan berkarakter dua-duanya. Jadi, Si Kabayan itu gabungan dari Abu Nawas dan Koja Nasruddin…

Si Kabayan itu pemalas, suka makan enak, suka sekali tidur, banyak menganggur, miskin, dan jarang bersosialisasi. Watak yang kurang terpuji di zaman modern ini. Tampaknya, itu sengaja digambarkan demikian oleh para pengarang ceritanya. Si Kabayan adalah gambaran seorang pengikut tarekat terutama yang sudah mencapai tingkat sufi. Seorang sufi itu memilih hidup miskin daripada kaya, hina daripada mulia (penganggur dan penidur), menjauhi pergaulan, lapar daripada kenyang (Kabayan suka makan enak), “mati” daripada hidup (kudu bisa paéh saméméh paéh), “bodoh” daripada pintar.

Rupanya, cerita-cerita Si Kabayan muncul dari kumpulan-kumpulan tarekat di wilayah Banten. Cerita-cerita Si Kabayan sendiri juga bersifat paradoks. Dari satu sisi cerita Kabayan itu lucu dan mengggelikan, tetapi cerita yang sama memiliki sisi sebaliknya, yakni menyedihkan. Seorang sufi di Timur Tengah abad 9 menyatakan bahwa “kalau kamu mengetahui apa yang saya ketahui, engkau akan sedikit tertawa dan akan banyak menangis”.

Dunia ini fana, dan carilah yang baka. Jadi, Kabayan dan cerita-ceritanya paradoks, seperti sufisme itu sendiri, penuh pikiran dan peristiwa paradoks.

Dengan demikian, cerita-cerita Si Kabayan bukan sembarangan. Cerita-cerita “dongeng” itu sufistik dan pantas disejajarkan dengan cerita para pendahulunya, Abu Nawas dan Koja Nasruddin. Snouck Hurgronje pernah mengumpulkan 121 cerita Si Kabayan yang 80 di antaranya diangkat sebagai disertasi oleh Lina Maria Coster-Wijaman pada tahun 1929. Kumpulan cerita Si Kabayan tak kalah banyak dengan Koja Nasruddin dan Abu Nawas. Amat disayangkan bahwa cerita-cerita Si Kabayan bahkan tak dikenal oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Dunia dalam cerita-cerita Si Kabayan itu terbatas. Ia selalu berselisih dengan bapak mertuanya, tetapi disayangi oleh ibu mertua dan neneknya (simbol makrifat). Kabayan juga selalu bertengkar dengan istrinya, namun tetap menjadi istrinya (rukun bertengkar). Nama istri Si Kabayan ini Si Iteung, tetapi di Banten dikenal dengan nama Si Kendeng atau kadang Cemuweuk. Ini menunjukkan sumber yang berbeda-beda. Tetangganya yang selalu ditipunya adalah Ki Silah dan orang yang selalu dihormatinya adalah Kiai.

Sebuah cerita Abu Nawas masuk dalam cerita Si Kabayan. Inilah ceritanya, Abu Nawas diuji oleh raja karena terkenal kepintarannya. Abu Nawas disuruh menghitung bintang di langit. Jawaban Abu Nawas adalah membawa seember pasir di hadapan raja dan diminta untuk menghitungnya. Tentu saja raja tak mampu. Moral cerita ini adalah bahwa ada hal-hal yang tak mungkin diketahui oleh manusia, dan kita tak usah mencoba memasukinya.

Dalam Si Kabayan, cerita ala Abu Nawas ini lebih kaya. Kabayan diminta “musuh abadinya” Ki Silah untuk menghitung bintang. Si Kabayan menyuruh Ki Silah untuk menghitung bulu kambing.

Lalu Kabayan disuruh mengikat tangannya dengan air. Kabayan mau membuat tali dari air dulu, dan Ki Silah yang harus menyediakan tali itu. Akhirnya, Ki Silah menantang Kabayan apakah pernah melihat setan? Jawab Kabayan, “Saya sedang berhadapan dengan dia (Ki Silah)”.

Tampak di sini kreativitas pengembangan cerita oleh para pengarang Si Kabayan. Hal-hal yang tidak mungkin diketahui dan tak mungkin dilakukan itu hanya godaan setan belaka. Jangan pernah mencoba menjelaskan dan melakukannya.

Koja Nasruddin pernah mimpi, begitu pula Si Kabayan pernah mimpi. Koja mimpi sedang negosiasi sebuah kontrak ratusan juta, dibangunkan oleh istrinya yang menyediakan sarapan pagi. Koja marah-marah karena kontrak belum dia tanda tangani dalam mimpi. Sarapan sama sekali tak ada artinya dibandingkan dengan mimpi kontrak ratusan juta itu. Moral cerita ini, mana lebih penting bagi manusia, mimpi jadi saudagar kaya atau sarapan pagi yang realitas? Bisakah orang mimpi tanpa makan?

Si Kabayan juga pernah mimpi mandi di kali. Ia tanya mertuanya, apa artinya? Kamu mandi di mana? Di bagian hilir. O, kamu akan jadi camat. Tidak, agak hulu. O, kamu akan jadi bupati. Bukan, lebih hulu lagi. O, kamu akan jadi gubernur. Kalau lebih hulu lagi? Kamu jadi presiden. Lebih hulu lagi? Kamu akan dikerkah harimau. Saya pilih di tempat yang jadi presiden saja. Seperti Nasrudin, Si Kabayan juga memandang mimpi sebagai realitas.

Cerita Si Kabayan kadang-kadang jorok-pornografis. Ketika Kabayan sedang memandikan kerbaunya, ia diintip oleh istrinya sedang menyetubuhi kerbaunya. Istrinya marah dan membawa pulang pakaian Kabayan. Ketika Kabayan pulang menggiring kerbaunya, datang rombongan lurah mengadakan gotong royong memotong pohon-pohon bambu.

Kabayan bertanya, “Mengapa ramai-ramai itu?”

Kata istrinya, “Pak lurah mencari orang yang menyetubuhi kerbau.”

Kabayan langsung sembunyi di rumpun bambu. Ketika rombongan sampai di rumpun bambu, pak lurah menyuruh anggota rombongannya menebang habis rumpun itu. Kabayan keluar telanjang dari rumpun bambu sambil marah-marah.

“Apa peduli kalian! Kerbau, kerbauku sendiri, Kukawini, kawini sendiri! Perkara nanti jadinya bagaimana, itu urusanku!” Tentu saja rombongan kerja bakti itu melongo semua.

Di sini Kabayan itu pembohong yang bodoh. Perbuatannya salah, pikirannya benar, yakni dia “tobat” tak langsung dengan mengakui perbuatannya yang dikiranya semua orang sudah mengetahuinya. Laku tobat memang merupakan salah satu jalan tarekat. Pertobatan Kabayan semacam itu banyak dijumpai di berbagai cerita.

Cerita-cerita Si Kabayan bukan hanya berhenti di tingkat tarekat, tetapi juga memasuki tingkat hakikat. Salah satu ceritanya begini. Kabayan menjumpai mayat seorang cantik di pinggir jalan. Dikiranya perempuan cantik itu naksir padanya karena tersenyum dan terus-menerus menatap Si Kabayan ke mana pun Kabayan berposisi.

Ketika Kabayan mau menciumnya, bau tak sedap tercium. Ia mengira perempuan itu kurang minyak wangi. Maka Kabayan pergi ke majikan perempuannya dan minta sedikit minyak wangi. Ketika majikannya bertanya untuk apa, tahulah majikan itu bahwa yang dijumpai Kabayan adalah mayat.

Majikan si perempuan langsung masuk rumah, dan tiba-tiba kentut. Bau tak sedap dicium Kabayan sehingga ia menganggap majikannya sudah mati pula karena baunya seperti mayat. Majikannya langsung dibopong dan dibuang di pinggir jalan juga.

Makna hakikatnya adalah bahwa mayat seperti orang hidup, orang hidup seperti mayat. Manusia seperti majikan itu, yang hanya memikirkan milik secara kikir adalah mayat yang hidup. Hidup seorang sufi justru sebaliknya, yakni paéh saméméh paéh.

Demikianlah puluhan cerita Si Kabayan berkualitas semacam itu. Hampir semuanya bersifat sufistik, terutama di tingkat tarekat dengan memainkan kebodohan manusia yang tak kunjung tobat. Serakah, menipu, ingkar janji, balas dendam.

Cerita-cerita itu menertawakan diri kita ini. Manusia-manusia bodoh spiritual, jauh dari jalan rohani. Tokohnya Si Kabayan yang bodoh secara spiritual, dan cerdas-cerdik secara manusia.

Pesan cerita Si Kabayan universal karena mistisisme memang universal. Hanya cara mengungkapkannya secara Sunda.

Saya kira cerita-cerita Si Kabayan pantas disejajarkan dengan Abu Nawas (cerita kepintarannya) dan Koja Nasruddin (cerita kebodohannya). Cerita-cerita itu bersifat komedi karena menertawakan kebodohan manusia, tetapi sekaligus juga tragedi karena sebenarnya kisah sedih manusia yang jauh dari rohani.

Si Kabayan itu paradoks, bisa dibaca dari sisi komedinya (seperti kita lakukan selama ini), tetapi juga bisa kita baca dari sisi tragedinya. Tertawa dari sisi eksoterik dan awam, menangis dari sisi esoterik dan sufistik.

Cerita-cerita mistisisme semacam itu ada di banyak sistem kepercayaan. Dan karakternya sama, menertawakan kebodohan manusia!***
Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu, tanggalna mah hilap deui.

0 comments:

Post a Comment

 
BloggerTheme by BloggerThemes | Design by 9thsphere